Ishmahani

Selasa, 02 April 2013

Filsafat Islam 'Ibnu Maskawaih'


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Filsafat merupakan salah satu ilmu yang cukup terkenal dan banyak dibicarakan hingga hari ini. Banyak bermunculan tokoh-tokoh filsafat tak terkecuali tokoh filsafat Islam, salah satunya adalah Ibnu miskawaih. Ibnu Maskawaih adalah seorang ahli filsafat Islam termasuk yang pertama membicarakan akhlak. Tidak ada yang mengetahui keturunannya dan pendidikannya yang pertama. Dia di kenal orang dalam dunia filsafat sudah sebagai seorang yang pandai yang namanya menjadi buah bibirdari para-para pengarang Islam. Di samping itu ia juga dikenal sebagai seorang penyair yang masyhur, tabib, ahli sejarah dan ahli kimia. Dalam makalah ini akan dipaparkan tentang beliau, biografi, pemikiran filsafatnya dan hubungan dengan para filsafat lainnya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana riwayat hidup Ibnu Maskawaih?
2.      Apa saja karya yang ditulis Ibnu Maskawaih?
3.      Bagaimana filsafat Ibnu Maskawaih?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Riwayat Hidup Ibnu Maskawaih
Ibnu Maskawaih adalah seoarang filofos muslim yang memusatkan perhatiannya pada etika Islam. Meskipun sebenarnya ia adalah seoarang sejarahwan, tabib, ilmuan dan sastrawan. Pengetahuannya sangat luas, terutama mengenai kebudayaan Romawi,Persia,dan India disamping ia menguasia filasaft Yunani.
Nama lengkapnya adalah Abu Ali Al-Khasim Ahmad bin Ya’qub bin Maskawaih. Sebutan namanya yang lebih masyhur adalah Maskawaih atau Ibnu Maskawaih. Nama itu diambil dari nama kakeknya yang semula beragama Majusi ( Persia ), kemudian masuk Islam. Gelarnya adalah Abu Ali, yang diperoleh dari nama sahabat Ali, yang bagi kaum Syi’ah dipandang sebagai yang ber5hak menggantikan Nabi dalam kedudukannya sebagai pemimpin unat Islam sepeninggalnya. Dari gelarnya I I tidak salah oaring mengatakan bahwa Maskawaih tergolong penghanaut Aliran Syi’ah. Gelar lain yang juga sering disebutkan yaitu Al-Khazim, yang berarti bendaharawan, disebabkan pada masa kekuasaan Adhud Al-Daulah dari Bani Buwaih ia memperoleh kepercayaan sebagai bendaharawannya.
Maskawaih dilahirkan di Ray ( Teheran sekarang ). Mengenai Tahun kelahirannya, para penulis menyebutkan berbeda-beda. M.M Syarif menyebutkan tahun 320 H/ 932 M. Abdul Aziz Izzrat menyebutkan tahun 325 H. sedangkan mengenai wafatnya semua sepakat mengatakan pada 9 Shafar 421 H/16 februari 1030 M.[1]
Ibnu Maskawaih seorang yang tekun dalam melakukan percobaan-percobaan untuk mendapatkan ilmu-ilmu baru dan ia juga suka mendalami Ilmu Mantiq dan Filasafat akhlaq sebagaimana Al-Ghazali lebih banayak menunjukkan perhatiannya kepada filsafat alamiah. Tetapi Ibnu Maskawaih adalah seoarang teoritis dalam hal-hal akhlaq artinya ia telah mengupas filsafat akhlaqiyah secara analisa pengetahuan. Ini tidaklah berarti bahwa Ibnu Maskawaih tidak berakhlaq, hanya saja persoalannya ditinjau dari segi pengetahuan semata-mata.[2]
B.     Karya Tulis Ibnu Maskawaih
Ibnu Maskawaih tidak hanya dikenal sebagai seorang pemikir ( filsof ), tetapi juga seorang penulis yang produktif. Dalam buku yang bejudul The History Of the Muslim Philosophy disebutkan beberapa karyanya, yaitu :
a.       Al-Fauz al-Akbar. Tentang hal ini tidak dijelaskan isi bukunya.
b.      Al-Fauz al-Ashgar. Tentang hal ini tidak dijelaskan isi bukunya.
c.       Tajarib al-Umam ( sebuah sejarah tentang banjir besar yang ditulisnya pada tahun 369 H / 979 M ).
d.      Uns al-Farid ( koleksi anekdot,sya’ir,pribahasa,dan kata-kata hikmah ).
e.       Tartib al-Sa’adat ( isinya akhlaq dan politik ).[3]
f.       Al-Mustada (syair-syair pilihan)
g.      Jawidan qhirad (koleksi ungkaan bijak)
h.      Al-jami
i.        Al-syi’ar (tentang tigkah laku kehidupan)
j.        On the simple drug (tentang kedokteran)
k.      On the composition of the bajats ( seni memasak)
l.        Kitab al-asyribah (tentang mminuman)
m.    Tahdzib al-akhlak (tentang akhlak)
n.      Risalah fi al-lazzah wa al-alam fi jauhar al-nafs
o.      Ajwibah wa as’ilah fi al-nafs waal-aql
p.      Al-jawab fi al-masail al tsalats
q.      Risalah fi jawab fi su’al ali ibn muahamd abu hayyan al-shufi fi hakikah al aqli
r.        Thaharah al-nafs
Muhamad Bakir ibn zain al Abidin al Hawan Shari mengatakan bahwa ia juga menulis beberapa risalah pendek dalam bahasa parsi. Mengenai urutan karya-karyanya, kita hanya tahu dari miskawaih sendiri bahwa pauz al-akbar ditulis setelah pauz al-asghar, dan tahdzib al-akhlak ditulis setelah tartib as-saadah.[4]
C.    Filsafat Ibnu Maskawaih
Maskawaih membedakan antara pengertian hikmah kebijaksanaan (wisdoom) dan falsafah (filsafat). Menurutnya, hikmah adalah keutamaan jiwa yang cerdas (aqilah) yang mampu mebeda-bedakan (mumayyiz). Hikmah adalah bahwa engkau mengetahui segala yang ada (al-maujudat) sebagai adanya atau jika engkau mengetahui perkara-perkara ilahiyah (ketuhanan) dan perkara-perkara insaniah (kemanusiaan) dan hasil dari pengetahuan engkau mengetahui kebenaran-kebenaran spiritual (ma’qulat) dapat mebedakan mana yang wajib dilakukan dan mana yang wajib ditinggalkan. Maskawaih hanya membagi filsafat menjadi dua bagian yaitu, bagian teori dan bagian praktis, bagian teori merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat mengetahui segala sesuatu, hingga dengan kesempurnaan ilmunya itu pikirannya benar, keyakinanya benar dan tidak ragu-ragu terhadap kebenaran sedangkan bagian praktis merupakan kesempurnaan manusia mengisi potensinya untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral dan akhir dari kesempurnaan moral adalah samapai dapat mengatur hubungan antara sesama manusia hingga tercipta kebahagiaan hidup bersama.
1.      Filsafat Ketuhanan
Tuhan, menurut maskawaih adalah zat yang tidak berjism, azali, dan pencipta. Tuhan Esa dalam berbagai aspek, ia tidak terbagi dan tidak mengandung kejamakan dan ia ada tanpa diadakan dan ada-Nya tidak bergantung pada yang lain, sementara yang lain membutuhkanNya. Tampaknya pemikiran Ibnu Maskawaih sama denagan pemikiran al-Farabi dan Al-Kindi. Tuhan dapat dikenal dengan propogasi negative dan tidak dapat dikenal dengan sebaliknya prograsi positif, alasannya prograsi positif akan menyamakan tuhan dengan alam segala sesuatu di alam ini ada gerakan.
Gerakan tersebut merupakan sifat bagi alam yang menimbulkan perubahan pada sesuatu dari bentuknya semula ia bukti tentang adanya tuhan pencipta alam.pendapat ini berdasarkan pada pemikiran aristoteles bahwa segala sesuatu selalu dalam perubahan yang mengubahnya dari bentuk semula sebagai filosofis  religuis sejati. Ibnu Miskawaih mengatakan, alam semesta ini diciptakan Allah dari tiada menjadi ada karena penciptaan yang sudah ada bahan sebelumnya tidak ada artinya disinilah letak persamaan pemikirannya dengan Al-Kindi dan berbeda dengan Al-Farabi bahwa Allah menciptakan alam dari sesuatu yang sudah ada.[5]
Menurut De Boer dalam bukunya Tarikh al-Falsafat fi Islam disana ibnu maskawaih menyatakan tuhan adalah zat yang jelas dan zat yang tidak jelas dikatakan zat yang jelas bahwa ia adalah yang hak ( Benar ) yang benar adalah terang dikatakan tidak jelas karena kelemahan akal pikiran kita untuk menangkapnya disebabkan banyak dinding-dinding atau kendala keberadaan yang menutupi-Nya.[6]
Adapun argumen lain yang ditambahkan Ibnu Maskawaih yang penting adalah adanya gerak atau perubahan yang terjadi pada alam memperhatikan bahwa segala macam benda mempunyai sifat gerak atau berubah sesuai dengan watak pembawaan masing-masing (sifat gerak itu berbeda-beda yang berbeda) maka adanya gerak yang berbeda-beda itu membuktikan adanya yang menjadi sumber gerak, pengerak pertama yang tidak bergerak yaitu tuhan. Argumen gerak ini di ambil dari argumen Aristoteles, sebagai penggerak pertama yang tidak bergerak, juga menjadi sebab pertama dari segala yang ada, adanya segala sesuatu diciptakan tuhan dan adanya tuhan adalah pada dirinya. Tuhan sebagai pencipta segala sesuatu menciptakan dari awal, segala sesuatu diciptakan tuhan dari tiada menjadi ada sebab tidak ada artinya jika menciptakan sesuatu dari wujud yang telah ada, seandainya tuhan berhenti menciptakan atau menahan pancaran keberadaan alam ini niscaya alam ini akan menjadi tiada begitu juga tentang perubahan yang terjadi di alam menyebutkan bahwa setiap bentuk itu berubah-rubah di gantikan dengan bentuk yang baru dalam pertukaran bentuk Ibnu Maskawaih mengatakan bentuk yang lama tadi menjadi tiada, dengan demikian terjadilah penciptaan yang terus menerus dari satu generasi ke generasi yang lain dan setiap ciptaan yang baru berasal dari yang tiada.[7]
2.      Filasafat Jiwa
Jiwa menurut Ibnu Miskawaih, adalah jauhar rohani yang tidak hancur dengan sebab kematian jasad. Ia adalah satu kesatuan yang tidak dapat terbagi bagi. Ia akan hidup selalu, ia tidak dapat diaraba dengan panca indra karena ia bukan jisim dan bagian dari jisim. Jiwa dapat menangkap keberadaan zatnya dan mengetahui keaktivitasnya.
Dalam kesempatan lain, Ibnu Miskawaih juga membedakan antara pengetahuan jiwa dan pengetahuan panca indra. Secara tegas menyatakan bahwa panca indra tidak dapat menangkap selain apa yang dapat diraba. Sementara jiwa dapat menangkap apa yang dapat ditangkap panca indra, yakni dapat diraba  dan juga tidak dapat di raba. Tentang balasan Akhirat, sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Miskawaih juga menyatakan bahwa jiwalah yang akan menerima  balasan di akhirat. Karena menurutnya, kelezatan jasmaniyyah bukanlah kelezatan yang sebenarnya.[8]
Maskawih menonjolkan kelebihan jiwa manusia atas binatang dengan adanya kekuatan berfikir yang menjadi sumber pertimbangan tingkah laku, yang mengarah kepada kebaikan. Menurut Maskawih, jiwa manusia memiliki tiga kekuatan yang bertingkat-tingkat, yaitu
1.      An-Nafs Al-bahimiyah (nafsu kebinatangan ) yang buruk
2.      An-nafs al-sabu’iyah (nafsu binatang buas) yang sedang
3.      An-nafs An-nathiqah (jiwa yang cerdas) yang baik
Atas dasar tiga macam kekuatan jiwa manusia, dari kekuatan tersebut dapat disebutkan keutamaan jiwa diantaranya ada empat yaitu: hikmah (wisdom), iffah (kesucian), adalah (keadilan) serta kebijaksanaan adalah keutamaan jiwa cerdas. Maskawih menyebutkan adanya keutamaan lain yaitu keutamaan jiwa yang lebih sesuai dengan ketinggian martabat jiwa yaitu berusaha memiliki pengetahuan dan kesempurnaan jiwa yang sebenarnya dengan pengetahuan dan bersatu dengan akal aktif. Maskawih mengatakan bahwa jiwa yang rendah atau buruk (nafsu kebinatangan) mempunyai sifat-sifat ujub, sombong, pengolok-olok, penipu dan hina dina. Sedangkan jiwa yang cerdas mempunyai sifat-sifat adil, harga diri, berani, pemurah, benar dan cinta. Menurutnya manusia mempunyai dua unsur yaitu jiwa dan badan, maka kebahagiaan itu meliputi keduanya. Ada manusia yang bahagia karena terikat dengan hal yang bersifat benda, namun ia rindu terhadap kebahgiaa jiwa dan terus berusaha mendapatkannya. Ada pula manusia yang mendapat kebahagian melalui jiwa dan melepas kebendaan.
Kebahagiaan yang bersifat benda menurut Ibu miskawaih mengandung kepedihan dan penyesalan serta menghabat perkembangan jiwanya menuju kehadirat Allah. Kebahagian jiwalah yang merupakan kebahagian yang paling sempurna, dan mampu mengantar manusia yang memilikinya kederajat malaikat. Dengan demikian, jiwa dan materi adalah dua hal yang berbeda, dengan kata lain, jiwa pada dasarnya bukanlah materi. Immaterialitas jiwa itu menjadikan ketidakmatiannya, karena kematian adalah karakter dari materil. Untuk itu, Ibn Miskawaih mengajukan argumentasi :
1)               Indera, setelah mempersepsi suatu tantangan kuat, selama beberapa waktu, tidak lagi mampu mempersepsi rangsangan yang lebih lemah. Namun demikian, ini berbeda benar dengan aksi mental intuisi/kognisi.
2)               Bilamana kita merenungkan suatu obyek yang musykil, kita berusaha keras untuk sepenuhnya menutup kedua belah mata kita terhadap obyek-obyek disekitar kita, yang kita anggap sebagai sedemikian banyak halangan bagi aktivitas spiritual. Jika esensi jiwa adalah materi, maka agar aktivitasnya tidak terhambat, jiwa tidak perlu lari dari dunia materi.
3)               Mempersepsi rangsangan kuat memperlemah dan kadang-kadang merugikan indera. Disis lain, intelek berkembanga menjadi kuat dengan mengetahui ide-ide dan faham-faham umum (general nations).
4)               Kelemahan fisik yang disebabkan oleh umur yang tua tidak mempengaruhi kekuatan mental.
5)               Jiwa dapat memahami proposisi-proposisi tertentu yang tidak mempunyai pertalian dengan data inderawi. Indera, misalnya, tidak mampu memahami bahwa dua hal yang bertentangan tidak dapat ada bersamaan.
6)               Ada suatu kekuatan tertentu pada diri kita yang mengatur organ-organ fisik, membetulkan kesalahan-kesalahan inderawi, dan menyatukan semua pengetahuan. Prinsip penyatuan yang merenung-renungkan materi yang dibawa dihadapannya melalui saluran inderawi, dan menimbang evidensi (bukti) masing-masing indera, inilah yang menentukan karakter keadaan-keadaan tandingan, maka dengan sendirinya jiwa itu harus berada di atas lingkungan materi.[9]
3.      Filsafat Kenabian
Sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Miskawaih juga menginterpretasikan kenabian secara ilmiah. Usahanya ini dapat pula memperkecil perbedaan antara nabi dan filosof dan memperkuat hubungan dan keharmonisan antara wahyu dan akal. Menurut Ibnu Miskawaih, Nabi adalah seorang muslim yang memperoleh hakikat-hakikat atau kebenaran karena pengaruh akal aktif atas daya imjinasinya. Hakikat-hakikat atau kebenaran seperti ini diperoleh pula oleh filosof, perbedaannya hanya terletak pada teknik memperolehnya. Filosof mendapat kebenaran tersebut dari bawah keatas, yakni dari daya indrawi naik ke daya khayal dan naik lagi kedaya berfikir yang dapat berhubungan dan menangkap hakikat-hakikat atau kebenaran dari akal aktif. Sedangkan nabi, mendapatkan kebenaran diturunkan langsung dari atas ke bawah, yakni dari akal aktif langsung kepada nabi sebagai rahmat Allah. Dari itu, sumber kebenaran yang diperoleh nabi dan filosof adalah sama, yaitu akal aktif (Akal fa’al).  Pemikiran ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Al-Farabi sebelumnya.
Penjelasan di atas dapat dijadikan petunjuk bahwa Ibnu Miskawaih berusaha merekonsiliasikan antara agama dan filsafat, dan keduanya mesti cocok dan serasi, karena sumber keduanya sama. Persamaan antara Nabi dan filosof, bagi Ibnu Miskawaih, adalah dalam mencapai kebenaran, bukan persamaan keduanya dalam tingkatan, kemuliaan, dan kemaksuman.[10]
4.      Filsafat Moral (Akhlak)
Menurut Ibnu Miskawaih, akhlak merupakan bentuk jamak dari khuluq,    الخلق حال للنفس داعية لها إلى أفعالها من غير فكر ولا روية ولا روية yang berarti keadaan jiwa yang mengajak atau mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa difikirkan dan diperhitungkan sebelumnya. Hal yang senada di kemukakan oleh Aristoteles bahwa watak seseorang sangat mungkin dapat berubah. Dengan kata lain akhlak adalah keadaaan jiwa yang mendorong timbulnya perbuatan-perbuatan secara spontan. Sikap jiwa atau keadaan jiwa seperti ini terbagi menjadi dua; ada yang berasal dari watak (bawaan) atau fitrah sejak kecil dan ada pula yang berasal dari kebiasaan latihan.
Dengan demikian yang dapat mendorong perbuatan manusia secara spontan selain sebagai fitrah (naluria) manusia sejak kecil, juga dapat dilakukan melalui kebiasaan latihan dan proses pendidikan sehingga perbuatan-perbuatan itu menjadi baik. Dari defenisi di atas jelaslah bahwa Ibn Miskawaih menolak pendapat sebagian pemikir Yunani yang mengatakan bahwa akhlak atau moralitas manusia berasal dari watak dan tidak mungkin dapat berubah. Ia menegaskannya bahwa kemungkinan perubahan akhlak dan moralitas itu selalu terbuka lebar terutama bila dilakukan melalui pendidikan (tarbiyyah). Hal ini juga terlihat dari gambaran awal dari pendahuluan buku Tazhib al Akhlaq Ibn miskawaih mengutip sebuah ayat al Quran Surat al Syams ayat 7-8. Akhak menurut konsep Ibnu Miskawaih, ialah suatu sikap mental atau keadaan yang mendorongnya untuk berbuat tanpa pikir dan pertimbangan. Sementara tingkah laku manusia terbagi menjadi dua unsur,yakni unsur naluriah dan unsur lewat kebiasaan dan latihan. Berdasarkan ide diatas, secara tidak langsung Ibnu Miskawaih menolak pandangan orang- orang yunani yang mengatakan  bahwa akhlak manusia tidak dapat berubah. Menurut Ibnu Miskawaih akhlak yang tercela bisa berubah menjadi akhlak yang terpuji dengan jalan pendidikan dan latihan latihan. Pemikiran seperti ini sejalan dengan pemikiran dan ajaran islam karena  secara  eksplisit telah mengisyaratkan kearah ini  dan pada hakikatnya syariat agama bertujuan untuk mengokohkan dan memperbaiki akhlak manusia. Karena kebenaran ini tidak dapat di bantah sedangkan sifat binatang saja bisa berubah jadi liar menjadi jinak, apalagi akhlak manusia.
Ibnu Miskawaih juga menjelaskan sifat-sifat yang utama, sifat-sifat ini menurutnya erat kaitannya dengan jiwa. Jiwa memiliki tiga daya :daya marah,daya berfikir,dan daya keinginan. Sifat Hikmah adalah sifat utama bagi jiwa berfikir yang lahir dari ilmu.  Berani adalah sifat utama bagi jiwa marah yang tinbul dari jiwa hilm, sementara Murah adalah sifat utama pada jiwa keinginan lahir dari iffah. Dengan demikian  ada tiga sifat utama yaitu hikmah, berani dan murah. Apabila  ketiga sifat utama ini serasi, muncul sifat utama yang keempat yakni adil.
Dalam kitab Al-akhlak Ibnu Miskawaih juga memaparkan kebahagian, menurutnya meliputi jasmani dan rohani. Pendapatnya ini merupakan gabungan antara pendapat plato dan Aristoteles. Menurut plato kebahagian yang sebenarnya adalah kebahagian rohani. Hal ini dapat diperoleh manusia apabila rohaniyah telah berpisah dengan jasadnya. Dengan redsaksi lain selama rohaniyah masih  terikat pada jasadnya, yang selalu menghalanginya mencara hikmah, kebahagiaan dimaksud tidak akan tercapai. Sebaliknya Aristoteles berpendapat bahwa kebahagian dapat di capai dalam kehidupan di dunia ini, namun kebahagian tersebut berbeda di antara manusia ,seperti orang miskin kebahagiaanya  adalah kekayaan ,yang sakit pada kesehatan dan lainnya.
Urain di atas adapat dijadikan bukti bukti bahwa pemikiran Ibnu Miskawaih dasar pokoknya adalah ajaran islam. Sementara gabungan pendapat plato Aristoteles merupakan  pemikiran pelengkap yang ia terima karena tidak bertentangan dengan ajaran Islam.[11]
5.      Filsafat Politik
Menjaga tegaknya Syariat Islam adalah Imam yang kekuasaannya seperti kekuasaan raja. Orang-orang dulu tidak disebut raja, kecuali orang-orang yang menjaga keselamatan agama dan mengusahakan terlaksananya perintah-perintah agama dan menjaga agar larangan-larangannya jangan sampai dilanggar. Oleh karena itu Maskawaih berpendapat bahwa antara agama dan negara tidak dapat dipisahkan.[12] Maskawaih menegaskan bahwa yang menjaga tegaknya Syariat Islam adalah Imam yang kekuasaannya seperti kekuasaan raja. Orang-orang dulu tidak disebut raja, kecuali orang-orang yang menjaga keselamatan agama dan mengusahakan terlaksanakannyaperintah-perintah agama dan menjaga agar larangan-larangannya jangan sampai dilanggar.
Oleh Karena itu Maskawaih berpendapat bahwa antara agama dan Negara tidak dapat dipisahkan. Dikutipnya pendapat Azdsher, raja dan filosof  angsa Persia, yang mengatakan bahwa agama dan kerajaan ibarat dua saudara kembar atau dua sisi dari mata uang yang sama (two side or the same coin), yang satu tidak dapat sempurna tanpa yang lain. Agama merupakan landasan dasar, kerajaan adalah pengawalnya. Segala sesuatu tanpa landasan dasar mudah hancur, dan segala sesuatu tanpa pengawal akan sia-sia. Menurutnya raja yang berkuasa guna menjaga tegaknya agama, dan harus selalu waspada menjaga posisinya, melaksanakan tugasnya dengan sungguh-sungguh, tidak lengah, tidak mengejar kenikmatan pribadi, tidak mengejar kehormatan, dan kesenangan melainkan dengan jalan yang sah menurut agama.
Maskawaih memperingatkan juga adanya raja-raja yang disebutkan oleh Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq dalam pidato penobatannya sebagai khalifah: Manusia yang paling sengsara di dunia dan akhirat adalah raja-raja. Yang dimaksud adalah raja yang setelah berkuasa amat saying membelanjakan harta yang dimiliki, tetapi amat tamak (rakus) terhadap harta orang lain. Umur yang ditentukan baginya berkurang separuhnya, dan hatinya selalu diliputi rasa ketakutan. Raja yang demikian itu selalu mengharapkan hilangnya kenikmatan pada orang fakir miskin dan menunjukkan rasa tidak senang kepada orang kaya, dan merasa bosan terhadap kemakmuran bersama. Raja yang demikian itu ibarat mata uang palsu dan fatamorgana yang menipu, lahirnya tampak pemberani tetapi batinnya pengecut. Raja demikian itu jika telah meninggal akan diperhitungkan segala kesalahannya dengan keras dan tidak akan dimaafkan. Ingatlah sesungguhnya raja-raja seperti itulah yang pantas dikasihi.[13]
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Ibnu Maskawaih seoarang filofos muslim yang memusatkan perhatiannya pada etika Islam. Meskipun sebenarnya ia adalah seoarang sejarahwan, tabib, ilmuan dan sastrawan. Pengetahuannya sangat luas, terutama mengenai kebudayaan Romawi,Persia,dan India disamping ia menguasia filasaft Yunani.
Tuhan menurut Ibnu Maskawaih adalah zat yang tidak berjisim, Azali, dan Pencipta. Tuhan Esa dalam segala aspek. Ia tidak terbagi-bagi dan tidak mengandung kejamakan dan tidak satu pun yang setara dengan-Nya. Ia ada tanpa diadakan dan ada-Nya tidak bergantung kepada yang lain.
Ibnu Maskawaih juga menganut faham Emanasi yakni Allah menciptakan alam secara pancaran, namun Emanasi nya ini berbeda dengan Emanasi Al Farabi. Menurut nya entitas pertama yang memancarkan dari Allah ialah ‘aql Fa’al’ ( akal aktif ). Akal aktif ini timbullah jiwa dan dengan perantaraan jiwa pula timbullah planet (al-falak). Pancaran yang terus-menerus ari Allah dapat memelihara tatanan alam ini. Andaikan Allah menahan pancaran-Nya, maka akan terhenti kemajuan dalam alam ini.
Nabi menurut Ibnu Maskawaih adalah seorang muslim yang memperoleh hakikat-hakikat atau kebenaran karena pengaruh akal aktif atas imajinasinya, hakikat ini diperoleh juga oleh seorang filosof, pertbedaan hanya terletak pada teknik memperolehnya.

DAFTAR PUSTAKA
Drs.H A.Mustafa Fisafat Islam.CV Pustaka Setia.Bandung.1997.
Hermawan Heris, dkk. (2011). Filsafat Islam . CV Insan mandiri: bandung
http://kumpulanmakalahku.blogspot.com/2009/07/filsafat-islam-ibnu-maskawaih.html
Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997.
Sirajuddin Zar M.A. Filsafat Islam ( Filosof dan Filsafatnya ).PT Raja Gravindo Persada .Jakarta.2004



[1] Drs.H A.Mustafa Fisafat Islam.CV Pustaka Setia.Bandung.1997. hal :166
[2] http://kumpulanmakalahku.blogspot.com/2009/07/filsafat-islam-ibnu-maskawaih.html
[3] Sirajuddin Zar M.A. Filsafat Islam ( Filosof dan Filsafatnya ).PT Raja Gravindo Persada .Jakarta.2004.hal 129
[4] Heris Hermawan dkk.Filsafat Islam.CV Insan Mandiri.Bandung.2011.hal 74-75
[6] Sirajuddin Zar M.A Filsafat Islam ( Filosof dan Filsafatnya ).PT Raja Gravindo Persada.Jakarta 2004.hal 130
[7] Mustafa.Fisafat Islam.C.V Pustaka Setia.Bandung.1997.hal :171-172
[12] A. Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997, hlm. 186 
[13] http://aresmaderasta77.blogspot.com/2012/10/ibnu-maskawaih_12.html






Download Powerpointnya di sini
Download Makalahnya di sini