BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat merupakan
salah satu ilmu yang cukup terkenal dan banyak dibicarakan hingga hari ini.
Banyak bermunculan tokoh-tokoh filsafat tak terkecuali tokoh filsafat Islam,
salah satunya adalah Ibnu miskawaih. Ibnu Maskawaih adalah seorang ahli
filsafat Islam termasuk yang pertama membicarakan akhlak. Tidak ada yang
mengetahui keturunannya dan pendidikannya yang pertama. Dia di kenal orang
dalam dunia filsafat sudah sebagai seorang yang pandai yang namanya menjadi buah
bibirdari para-para pengarang Islam. Di samping itu ia juga dikenal sebagai
seorang penyair yang masyhur, tabib, ahli sejarah dan ahli kimia. Dalam
makalah ini akan dipaparkan tentang beliau, biografi, pemikiran filsafatnya dan
hubungan dengan para filsafat lainnya.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
riwayat hidup Ibnu Maskawaih?
2.
Apa saja
karya yang ditulis Ibnu Maskawaih?
3.
Bagaimana
filsafat Ibnu Maskawaih?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat
Hidup Ibnu Maskawaih
Ibnu Maskawaih adalah seoarang
filofos muslim yang memusatkan perhatiannya pada etika Islam. Meskipun
sebenarnya ia adalah seoarang sejarahwan, tabib, ilmuan dan sastrawan.
Pengetahuannya sangat luas, terutama mengenai kebudayaan Romawi,Persia,dan
India disamping ia menguasia filasaft Yunani.
Nama lengkapnya adalah Abu Ali
Al-Khasim Ahmad bin Ya’qub bin Maskawaih. Sebutan namanya yang lebih masyhur
adalah Maskawaih atau Ibnu Maskawaih. Nama itu diambil dari nama kakeknya yang
semula beragama Majusi ( Persia ), kemudian masuk Islam. Gelarnya adalah Abu
Ali, yang diperoleh dari nama sahabat Ali, yang bagi kaum Syi’ah dipandang
sebagai yang ber5hak menggantikan Nabi dalam kedudukannya sebagai pemimpin unat
Islam sepeninggalnya. Dari gelarnya I I tidak salah oaring mengatakan bahwa
Maskawaih tergolong penghanaut Aliran Syi’ah. Gelar lain yang juga sering
disebutkan yaitu Al-Khazim, yang berarti bendaharawan, disebabkan pada masa
kekuasaan Adhud Al-Daulah dari Bani Buwaih ia memperoleh kepercayaan sebagai
bendaharawannya.
Maskawaih dilahirkan di Ray ( Teheran
sekarang ). Mengenai Tahun kelahirannya, para penulis menyebutkan berbeda-beda.
M.M Syarif menyebutkan tahun 320 H/ 932 M. Abdul Aziz Izzrat menyebutkan tahun
325 H. sedangkan mengenai wafatnya semua sepakat mengatakan pada 9 Shafar 421
H/16 februari 1030 M.[1]
Ibnu Maskawaih seorang yang tekun dalam
melakukan percobaan-percobaan untuk mendapatkan ilmu-ilmu baru dan ia juga suka
mendalami Ilmu Mantiq dan Filasafat akhlaq sebagaimana Al-Ghazali lebih banayak
menunjukkan perhatiannya kepada filsafat alamiah. Tetapi Ibnu Maskawaih adalah
seoarang teoritis dalam hal-hal akhlaq artinya ia telah mengupas filsafat
akhlaqiyah secara analisa pengetahuan. Ini tidaklah berarti bahwa Ibnu
Maskawaih tidak berakhlaq, hanya saja persoalannya ditinjau dari segi
pengetahuan semata-mata.[2]
B.
Karya Tulis
Ibnu Maskawaih
Ibnu Maskawaih tidak hanya dikenal
sebagai seorang pemikir ( filsof ), tetapi juga seorang penulis yang produktif.
Dalam buku yang bejudul The History Of the Muslim Philosophy disebutkan
beberapa karyanya, yaitu :
a. Al-Fauz al-Akbar. Tentang hal
ini tidak dijelaskan isi bukunya.
b.
Al-Fauz
al-Ashgar. Tentang hal ini tidak dijelaskan isi bukunya.
c.
Tajarib
al-Umam ( sebuah sejarah tentang banjir besar yang ditulisnya
pada tahun 369 H / 979 M ).
d.
Uns al-Farid
( koleksi anekdot,sya’ir,pribahasa,dan kata-kata hikmah ).
f.
Al-Mustada
(syair-syair pilihan)
g.
Jawidan
qhirad (koleksi ungkaan bijak)
h.
Al-jami
i.
Al-syi’ar (tentang
tigkah laku kehidupan)
j.
On the
simple drug (tentang kedokteran)
k.
On the
composition of the bajats ( seni memasak)
l.
Kitab
al-asyribah (tentang mminuman)
m.
Tahdzib
al-akhlak (tentang akhlak)
n.
Risalah fi
al-lazzah wa al-alam fi jauhar al-nafs
o.
Ajwibah wa
as’ilah fi al-nafs waal-aql
p.
Al-jawab fi
al-masail al tsalats
q.
Risalah fi
jawab fi su’al ali ibn muahamd abu hayyan al-shufi fi hakikah al aqli
r.
Thaharah
al-nafs
Muhamad Bakir ibn zain al Abidin al
Hawan Shari mengatakan bahwa ia juga menulis beberapa risalah pendek dalam
bahasa parsi. Mengenai urutan karya-karyanya, kita hanya tahu dari miskawaih
sendiri bahwa pauz al-akbar ditulis setelah pauz al-asghar, dan tahdzib
al-akhlak ditulis setelah tartib as-saadah.[4]
C.
Filsafat
Ibnu Maskawaih
Maskawaih membedakan antara pengertian
hikmah kebijaksanaan (wisdoom) dan falsafah (filsafat). Menurutnya, hikmah
adalah keutamaan jiwa yang cerdas (aqilah) yang mampu mebeda-bedakan
(mumayyiz). Hikmah adalah bahwa engkau mengetahui segala yang ada (al-maujudat)
sebagai adanya atau jika engkau mengetahui perkara-perkara ilahiyah (ketuhanan)
dan perkara-perkara insaniah (kemanusiaan) dan hasil dari pengetahuan engkau
mengetahui kebenaran-kebenaran spiritual (ma’qulat) dapat mebedakan mana yang
wajib dilakukan dan mana yang wajib ditinggalkan. Maskawaih hanya membagi
filsafat menjadi dua bagian yaitu, bagian teori dan bagian praktis, bagian
teori merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat
mengetahui segala sesuatu, hingga dengan kesempurnaan ilmunya itu pikirannya
benar, keyakinanya benar dan tidak ragu-ragu terhadap kebenaran sedangkan
bagian praktis merupakan kesempurnaan manusia mengisi potensinya untuk
melakukan perbuatan-perbuatan moral dan akhir dari kesempurnaan moral adalah
samapai dapat mengatur hubungan antara sesama manusia hingga tercipta kebahagiaan
hidup bersama.
1.
Filsafat
Ketuhanan
Tuhan, menurut maskawaih adalah zat
yang tidak berjism, azali, dan pencipta. Tuhan Esa dalam berbagai aspek, ia
tidak terbagi dan tidak mengandung kejamakan dan ia ada tanpa diadakan dan ada-Nya
tidak bergantung pada yang lain, sementara yang lain membutuhkanNya. Tampaknya
pemikiran Ibnu Maskawaih sama denagan pemikiran al-Farabi dan Al-Kindi. Tuhan
dapat dikenal dengan propogasi negative dan tidak dapat dikenal dengan
sebaliknya prograsi positif, alasannya prograsi positif akan menyamakan tuhan
dengan alam segala sesuatu di alam ini ada gerakan.
Gerakan tersebut merupakan sifat
bagi alam yang menimbulkan perubahan pada sesuatu dari bentuknya semula ia
bukti tentang adanya tuhan pencipta alam.pendapat ini berdasarkan pada
pemikiran aristoteles bahwa segala sesuatu selalu dalam perubahan yang
mengubahnya dari bentuk semula sebagai filosofis religuis sejati. Ibnu
Miskawaih mengatakan, alam semesta ini diciptakan Allah dari tiada menjadi ada
karena penciptaan yang sudah ada bahan sebelumnya tidak ada artinya disinilah
letak persamaan pemikirannya dengan Al-Kindi dan berbeda dengan Al-Farabi bahwa
Allah menciptakan alam dari sesuatu yang sudah ada.[5]
Menurut De Boer dalam bukunya Tarikh
al-Falsafat fi Islam disana ibnu maskawaih menyatakan tuhan adalah zat yang
jelas dan zat yang tidak jelas dikatakan zat yang jelas bahwa ia adalah yang
hak ( Benar ) yang benar adalah terang dikatakan tidak jelas karena kelemahan
akal pikiran kita untuk menangkapnya disebabkan banyak dinding-dinding atau
kendala keberadaan yang menutupi-Nya.[6]
Adapun argumen lain yang ditambahkan
Ibnu Maskawaih yang penting adalah adanya gerak atau perubahan yang terjadi
pada alam memperhatikan bahwa segala macam benda mempunyai sifat gerak atau
berubah sesuai dengan watak pembawaan masing-masing (sifat gerak itu
berbeda-beda yang berbeda) maka adanya gerak yang berbeda-beda itu membuktikan
adanya yang menjadi sumber gerak, pengerak pertama yang tidak bergerak yaitu
tuhan. Argumen gerak ini di ambil dari argumen Aristoteles, sebagai penggerak
pertama yang tidak bergerak, juga menjadi sebab pertama dari segala yang ada,
adanya segala sesuatu diciptakan tuhan dan adanya tuhan adalah pada dirinya.
Tuhan sebagai pencipta segala sesuatu menciptakan dari awal, segala sesuatu
diciptakan tuhan dari tiada menjadi ada sebab tidak ada artinya jika
menciptakan sesuatu dari wujud yang telah ada, seandainya tuhan berhenti
menciptakan atau menahan pancaran keberadaan alam ini niscaya alam ini akan
menjadi tiada begitu juga tentang perubahan yang terjadi di alam menyebutkan
bahwa setiap bentuk itu berubah-rubah di gantikan dengan bentuk yang baru dalam
pertukaran bentuk Ibnu Maskawaih mengatakan bentuk yang lama tadi menjadi
tiada, dengan demikian terjadilah penciptaan yang terus menerus dari satu
generasi ke generasi yang lain dan setiap ciptaan yang baru berasal dari yang
tiada.[7]
2.
Filasafat
Jiwa
Jiwa menurut Ibnu Miskawaih, adalah
jauhar rohani yang tidak hancur dengan sebab kematian jasad. Ia adalah satu
kesatuan yang tidak dapat terbagi bagi. Ia akan hidup selalu, ia tidak dapat
diaraba dengan panca indra karena ia bukan jisim dan bagian dari jisim. Jiwa
dapat menangkap keberadaan zatnya dan mengetahui keaktivitasnya.
Dalam kesempatan lain, Ibnu
Miskawaih juga membedakan antara pengetahuan jiwa dan pengetahuan panca indra.
Secara tegas menyatakan bahwa panca indra tidak dapat menangkap selain apa yang
dapat diraba. Sementara jiwa dapat menangkap apa yang dapat ditangkap panca
indra, yakni dapat diraba dan juga tidak dapat di raba. Tentang balasan
Akhirat, sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Miskawaih juga menyatakan bahwa jiwalah
yang akan menerima balasan di akhirat. Karena menurutnya, kelezatan
jasmaniyyah bukanlah kelezatan yang sebenarnya.[8]
Maskawih menonjolkan kelebihan jiwa
manusia atas binatang dengan adanya kekuatan berfikir yang menjadi sumber
pertimbangan tingkah laku, yang mengarah kepada kebaikan. Menurut Maskawih,
jiwa manusia memiliki tiga kekuatan yang bertingkat-tingkat, yaitu
1. An-Nafs Al-bahimiyah (nafsu kebinatangan ) yang buruk
2.
An-nafs
al-sabu’iyah (nafsu binatang buas) yang sedang
3. An-nafs An-nathiqah (jiwa yang cerdas) yang baik
Atas dasar tiga macam kekuatan jiwa
manusia, dari kekuatan tersebut dapat disebutkan keutamaan jiwa diantaranya ada
empat yaitu: hikmah (wisdom), iffah (kesucian), adalah (keadilan) serta
kebijaksanaan adalah keutamaan jiwa cerdas. Maskawih menyebutkan adanya
keutamaan lain yaitu keutamaan jiwa yang lebih sesuai dengan ketinggian
martabat jiwa yaitu berusaha memiliki pengetahuan dan kesempurnaan jiwa yang
sebenarnya dengan pengetahuan dan bersatu dengan akal aktif. Maskawih
mengatakan bahwa jiwa yang rendah atau buruk (nafsu kebinatangan) mempunyai
sifat-sifat ujub, sombong, pengolok-olok, penipu dan hina dina. Sedangkan jiwa
yang cerdas mempunyai sifat-sifat adil, harga diri, berani, pemurah, benar dan
cinta. Menurutnya manusia mempunyai dua unsur yaitu jiwa dan badan, maka
kebahagiaan itu meliputi keduanya. Ada manusia yang bahagia karena terikat
dengan hal yang bersifat benda, namun ia rindu terhadap kebahgiaa jiwa dan
terus berusaha mendapatkannya. Ada pula manusia yang mendapat kebahagian melalui
jiwa dan melepas kebendaan.
Kebahagiaan yang bersifat benda
menurut Ibu miskawaih mengandung kepedihan dan penyesalan serta menghabat
perkembangan jiwanya menuju kehadirat Allah. Kebahagian jiwalah yang merupakan
kebahagian yang paling sempurna, dan mampu mengantar manusia yang memilikinya
kederajat malaikat. Dengan demikian, jiwa dan materi adalah dua hal yang
berbeda, dengan kata lain, jiwa pada dasarnya bukanlah materi. Immaterialitas
jiwa itu menjadikan ketidakmatiannya, karena kematian adalah karakter dari
materil. Untuk itu, Ibn Miskawaih mengajukan argumentasi :
1)
Indera,
setelah mempersepsi suatu tantangan kuat, selama beberapa waktu, tidak lagi
mampu mempersepsi rangsangan yang lebih lemah. Namun demikian, ini berbeda
benar dengan aksi mental intuisi/kognisi.
2)
Bilamana
kita merenungkan suatu obyek yang musykil, kita berusaha keras untuk sepenuhnya
menutup kedua belah mata kita terhadap obyek-obyek disekitar kita, yang kita
anggap sebagai sedemikian banyak halangan bagi aktivitas spiritual. Jika esensi
jiwa adalah materi, maka agar aktivitasnya tidak terhambat, jiwa tidak perlu
lari dari dunia materi.
3)
Mempersepsi
rangsangan kuat memperlemah dan kadang-kadang merugikan indera. Disis lain,
intelek berkembanga menjadi kuat dengan mengetahui ide-ide dan faham-faham umum
(general nations).
4)
Kelemahan
fisik yang disebabkan oleh umur yang tua tidak mempengaruhi kekuatan mental.
5)
Jiwa dapat
memahami proposisi-proposisi tertentu yang tidak mempunyai pertalian dengan
data inderawi. Indera, misalnya, tidak mampu memahami bahwa dua hal yang
bertentangan tidak dapat ada bersamaan.
6)
Ada suatu
kekuatan tertentu pada diri kita yang mengatur organ-organ fisik, membetulkan
kesalahan-kesalahan inderawi, dan menyatukan semua pengetahuan. Prinsip
penyatuan yang merenung-renungkan materi yang dibawa dihadapannya melalui
saluran inderawi, dan menimbang evidensi (bukti) masing-masing indera, inilah
yang menentukan karakter keadaan-keadaan tandingan, maka dengan sendirinya jiwa
itu harus berada di atas lingkungan materi.[9]
3.
Filsafat
Kenabian
Sebagaimana Al-Farabi, Ibnu
Miskawaih juga menginterpretasikan kenabian secara ilmiah. Usahanya ini dapat
pula memperkecil perbedaan antara nabi dan filosof dan memperkuat hubungan dan
keharmonisan antara wahyu dan akal. Menurut Ibnu Miskawaih, Nabi adalah seorang
muslim yang memperoleh hakikat-hakikat atau kebenaran karena pengaruh akal
aktif atas daya imjinasinya. Hakikat-hakikat atau kebenaran seperti ini
diperoleh pula oleh filosof, perbedaannya hanya terletak pada teknik
memperolehnya. Filosof mendapat kebenaran tersebut dari bawah keatas, yakni
dari daya indrawi naik ke daya khayal dan naik lagi kedaya berfikir yang dapat
berhubungan dan menangkap hakikat-hakikat atau kebenaran dari akal aktif.
Sedangkan nabi, mendapatkan kebenaran diturunkan langsung dari atas ke bawah,
yakni dari akal aktif langsung kepada nabi sebagai rahmat Allah. Dari itu,
sumber kebenaran yang diperoleh nabi dan filosof adalah sama, yaitu akal aktif
(Akal fa’al). Pemikiran ini sejalan
dengan apa yang dikemukakan Al-Farabi sebelumnya.
Penjelasan di atas dapat dijadikan petunjuk bahwa Ibnu Miskawaih berusaha merekonsiliasikan antara agama dan filsafat, dan keduanya mesti cocok dan serasi, karena sumber keduanya sama. Persamaan antara Nabi dan filosof, bagi Ibnu Miskawaih, adalah dalam mencapai kebenaran, bukan persamaan keduanya dalam tingkatan, kemuliaan, dan kemaksuman.[10]
Penjelasan di atas dapat dijadikan petunjuk bahwa Ibnu Miskawaih berusaha merekonsiliasikan antara agama dan filsafat, dan keduanya mesti cocok dan serasi, karena sumber keduanya sama. Persamaan antara Nabi dan filosof, bagi Ibnu Miskawaih, adalah dalam mencapai kebenaran, bukan persamaan keduanya dalam tingkatan, kemuliaan, dan kemaksuman.[10]
4.
Filsafat
Moral (Akhlak)
Menurut Ibnu
Miskawaih, akhlak merupakan bentuk jamak dari khuluq, الخلق حال للنفس داعية لها
إلى أفعالها من غير فكر ولا روية ولا روية yang berarti keadaan jiwa yang mengajak atau mendorong seseorang untuk
melakukan perbuatan-perbuatan tanpa difikirkan dan diperhitungkan sebelumnya. Hal yang senada di kemukakan oleh Aristoteles bahwa watak seseorang sangat
mungkin dapat berubah. Dengan kata
lain akhlak adalah keadaaan jiwa yang mendorong timbulnya perbuatan-perbuatan
secara spontan. Sikap jiwa atau keadaan jiwa seperti ini terbagi menjadi dua;
ada yang berasal dari watak (bawaan) atau fitrah sejak kecil dan ada pula yang
berasal dari kebiasaan latihan.
Dengan
demikian yang dapat mendorong perbuatan manusia secara spontan selain sebagai
fitrah (naluria) manusia sejak kecil, juga dapat dilakukan melalui kebiasaan
latihan dan proses pendidikan sehingga perbuatan-perbuatan itu menjadi baik.
Dari defenisi di atas jelaslah bahwa Ibn Miskawaih menolak pendapat sebagian
pemikir Yunani yang mengatakan bahwa akhlak atau moralitas manusia berasal dari
watak dan tidak mungkin dapat berubah. Ia menegaskannya bahwa kemungkinan
perubahan akhlak dan moralitas itu selalu terbuka lebar terutama bila dilakukan
melalui pendidikan (tarbiyyah). Hal ini juga terlihat dari gambaran awal
dari pendahuluan buku Tazhib al Akhlaq Ibn miskawaih mengutip sebuah
ayat al Quran Surat al Syams ayat 7-8. Akhak menurut konsep Ibnu
Miskawaih, ialah suatu sikap mental atau keadaan yang mendorongnya untuk
berbuat tanpa pikir dan pertimbangan. Sementara tingkah laku manusia terbagi
menjadi dua unsur,yakni unsur naluriah dan unsur lewat kebiasaan dan latihan. Berdasarkan
ide diatas, secara tidak langsung Ibnu Miskawaih menolak pandangan orang- orang
yunani yang mengatakan bahwa akhlak manusia tidak dapat berubah. Menurut Ibnu
Miskawaih akhlak yang tercela bisa berubah menjadi akhlak yang terpuji dengan
jalan pendidikan dan latihan latihan. Pemikiran seperti ini sejalan dengan
pemikiran dan ajaran islam karena secara eksplisit telah
mengisyaratkan kearah ini dan pada hakikatnya syariat agama bertujuan
untuk mengokohkan dan memperbaiki akhlak manusia. Karena kebenaran ini tidak
dapat di bantah sedangkan sifat binatang saja bisa berubah jadi liar menjadi
jinak, apalagi akhlak manusia.
Ibnu Miskawaih juga menjelaskan
sifat-sifat yang utama, sifat-sifat ini menurutnya erat kaitannya dengan jiwa.
Jiwa memiliki tiga daya :daya marah,daya berfikir,dan daya keinginan. Sifat
Hikmah adalah sifat utama bagi jiwa berfikir yang lahir dari ilmu. Berani adalah sifat utama bagi jiwa marah yang
tinbul dari jiwa hilm, sementara Murah adalah sifat utama pada jiwa keinginan
lahir dari iffah. Dengan demikian ada tiga sifat utama yaitu hikmah,
berani dan murah. Apabila ketiga sifat utama ini serasi, muncul sifat
utama yang keempat yakni adil.
Dalam kitab Al-akhlak Ibnu Miskawaih
juga memaparkan kebahagian, menurutnya meliputi jasmani dan rohani. Pendapatnya
ini merupakan gabungan antara pendapat plato dan Aristoteles. Menurut plato
kebahagian yang sebenarnya adalah kebahagian rohani. Hal ini dapat diperoleh
manusia apabila rohaniyah telah berpisah dengan jasadnya. Dengan redsaksi lain
selama rohaniyah masih terikat pada jasadnya, yang selalu menghalanginya
mencara hikmah, kebahagiaan dimaksud tidak akan tercapai. Sebaliknya
Aristoteles berpendapat bahwa kebahagian dapat di capai dalam kehidupan di
dunia ini, namun kebahagian tersebut berbeda di antara manusia ,seperti orang
miskin kebahagiaanya adalah kekayaan ,yang sakit pada kesehatan dan
lainnya.
Urain di atas adapat dijadikan bukti
bukti bahwa pemikiran Ibnu Miskawaih dasar pokoknya adalah ajaran islam. Sementara
gabungan pendapat plato Aristoteles merupakan pemikiran pelengkap yang ia
terima karena tidak bertentangan dengan ajaran Islam.[11]
5.
Filsafat Politik
Menjaga tegaknya
Syariat Islam adalah Imam yang kekuasaannya seperti kekuasaan raja. Orang-orang
dulu tidak disebut raja, kecuali orang-orang yang menjaga keselamatan agama dan
mengusahakan terlaksananya perintah-perintah agama dan menjaga agar larangan-larangannya
jangan sampai dilanggar. Oleh
karena itu Maskawaih berpendapat bahwa antara agama dan negara tidak dapat
dipisahkan.[12] Maskawaih menegaskan bahwa yang
menjaga tegaknya Syariat Islam adalah Imam yang kekuasaannya seperti kekuasaan
raja. Orang-orang dulu tidak disebut raja, kecuali orang-orang yang menjaga
keselamatan agama dan mengusahakan terlaksanakannyaperintah-perintah agama dan
menjaga agar larangan-larangannya jangan sampai dilanggar.
Oleh
Karena itu Maskawaih berpendapat bahwa antara agama dan Negara tidak dapat
dipisahkan. Dikutipnya pendapat Azdsher, raja dan filosof angsa Persia, yang mengatakan bahwa agama dan
kerajaan ibarat dua saudara kembar atau dua sisi dari mata uang yang sama (two
side or the same coin), yang satu tidak dapat sempurna tanpa yang lain.
Agama merupakan landasan dasar, kerajaan adalah pengawalnya. Segala sesuatu
tanpa landasan dasar mudah hancur, dan segala sesuatu tanpa pengawal akan
sia-sia. Menurutnya raja yang berkuasa guna menjaga tegaknya agama, dan harus
selalu waspada menjaga posisinya, melaksanakan tugasnya dengan sungguh-sungguh,
tidak lengah, tidak mengejar kenikmatan pribadi, tidak mengejar kehormatan, dan
kesenangan melainkan dengan jalan yang sah menurut agama.
Maskawaih
memperingatkan juga adanya raja-raja yang disebutkan oleh Khalifah Abu Bakar
Ash-Shiddiq dalam pidato penobatannya sebagai khalifah: Manusia yang paling
sengsara di dunia dan akhirat adalah raja-raja. Yang dimaksud adalah raja
yang setelah berkuasa amat saying membelanjakan harta yang dimiliki, tetapi
amat tamak (rakus) terhadap harta orang lain. Umur yang ditentukan baginya
berkurang separuhnya, dan hatinya selalu diliputi rasa ketakutan. Raja yang
demikian itu selalu mengharapkan hilangnya kenikmatan pada orang fakir miskin
dan menunjukkan rasa tidak senang kepada orang kaya, dan merasa bosan terhadap
kemakmuran bersama. Raja yang demikian itu ibarat mata uang palsu dan
fatamorgana yang menipu, lahirnya tampak pemberani tetapi batinnya pengecut.
Raja demikian itu jika telah meninggal akan diperhitungkan segala kesalahannya
dengan keras dan tidak akan dimaafkan. Ingatlah sesungguhnya raja-raja seperti
itulah yang pantas dikasihi.[13]
BAB
III
PENUTUP
Simpulan
Ibnu Maskawaih seoarang filofos
muslim yang memusatkan perhatiannya pada etika Islam. Meskipun sebenarnya ia
adalah seoarang sejarahwan, tabib, ilmuan dan sastrawan. Pengetahuannya sangat
luas, terutama mengenai kebudayaan Romawi,Persia,dan India disamping ia
menguasia filasaft Yunani.
Tuhan menurut Ibnu Maskawaih adalah
zat yang tidak berjisim, Azali, dan Pencipta. Tuhan Esa dalam segala aspek. Ia
tidak terbagi-bagi dan tidak mengandung kejamakan dan tidak satu pun yang
setara dengan-Nya. Ia ada tanpa diadakan dan ada-Nya tidak bergantung kepada
yang lain.
Ibnu Maskawaih juga menganut faham
Emanasi yakni Allah menciptakan alam secara pancaran, namun Emanasi nya ini
berbeda dengan Emanasi Al Farabi. Menurut nya entitas pertama yang memancarkan
dari Allah ialah ‘aql Fa’al’ ( akal aktif ). Akal aktif ini timbullah
jiwa dan dengan perantaraan jiwa pula timbullah planet (al-falak). Pancaran
yang terus-menerus ari Allah dapat memelihara tatanan alam ini. Andaikan Allah
menahan pancaran-Nya, maka akan terhenti kemajuan dalam alam ini.
Nabi menurut Ibnu Maskawaih adalah
seorang muslim yang memperoleh hakikat-hakikat atau kebenaran karena pengaruh
akal aktif atas imajinasinya, hakikat ini diperoleh juga oleh seorang filosof,
pertbedaan hanya terletak pada teknik memperolehnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Drs.H A.Mustafa Fisafat Islam.CV Pustaka Setia.Bandung.1997.
Hermawan Heris,
dkk. (2011). Filsafat Islam . CV Insan mandiri: bandung
http://kumpulanmakalahku.blogspot.com/2009/07/filsafat-islam-ibnu-maskawaih.html
Mustofa, Filsafat
Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997.
Sirajuddin Zar M.A. Filsafat
Islam ( Filosof dan Filsafatnya ).PT Raja Gravindo Persada .Jakarta.2004
[2]
http://kumpulanmakalahku.blogspot.com/2009/07/filsafat-islam-ibnu-maskawaih.html
[3] Sirajuddin
Zar M.A. Filsafat Islam ( Filosof dan Filsafatnya ).PT Raja Gravindo
Persada .Jakarta.2004.hal 129
[4] Heris Hermawan
dkk.Filsafat Islam.CV Insan Mandiri.Bandung.2011.hal 74-75
[6] Sirajuddin Zar M.A Filsafat
Islam ( Filosof dan Filsafatnya ).PT Raja Gravindo Persada.Jakarta 2004.hal
130
[13] http://aresmaderasta77.blogspot.com/2012/10/ibnu-maskawaih_12.html
Download Powerpointnya di sini
Download Makalahnya di sini